Social Icons

Saturday, August 15, 2015

Cerita Jokowi minta maaf ke PKI hingga pembakaran bendera palu arit part 2


AGEN POKER ONLINE,AGEN CAPSA,POKER ONLINE,AGEN DOMINO99,POKER UANG ASLI

Merdeka.com - Di tempat lain, aparat Kepolisian Resor (Polres) Jember, Jawa Timur, mengamankan tiga orang mahasiswa Universitas Jember (Unej) yang membuat grafiti palu-arit yang menyerupai lambang organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) di sekitar kampus setempat.

"Polisi mengamankan tiga orang mahasiswa Unej yang berinisial MU, LK dan RI tadi pagi," kata Kasat Reskrim Polres Jember AKP Agus I. Supriyanto, di Jember.

Menurut dia, tiga mahasiswa tersebut diduga membuat gambar palu-arit yang menjadi simbol sebuah partai terlarang di Indonesia dan grafiti tersebut digambar di sejumlah tembok Kampus Unej.

Sementara Kepala Humas dan Protokol Unej Agung Purwanto membenarkan mahasiswanya dimintai keterangan di Mapolres Jember terkait dengan aksi corat-coret tembok dengan gambar grafiti palu-arit.

"Kedua mahasiswa tertangkap tangan oleh satpam saat mengerjakan grafiti palu-arit di tembok dekat pos satpam II Unej yang berada di sekitar jalan kembar kampus setempat," tuturnya.

"Setelah dimintai keterangan di Pos Satpam, kedua mahasiswa itu diserahkan ke Mapolres Jember, dan pihak Unej menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kasus itu kepada aparat kepolisian," katanya.

Berdasarkan keterangan dari pelaku, lanjutnya, aksi membuat grafiti palu-arit itu sebagai bentuk protes terhadap rencana Presiden Joko Widodo yang akan meminta maaf kepada eks anggota PKI dan keluarganya.

"Hal itu sudah menyangkut sikap politik praktis seseorang. Kalau mereka protes kenapa mencoret tembok Unej," keluhnya.

Sebelumnya, Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) PPAD juga memandang rencana permintaan maaf Presiden Jokowi terhadap korban pelanggaran HAM di Papua dan korban penumpasan G-30S-PKI tahun 1965 sebagai tidak tepat dan tidak relevan.

Ketua Umum PPAD Letjen TNI (Purn) Soerjadi menjelaskan bahwa PPAD memandang permintaan maaf kepada korban HAM di Papua disebut sangat tidak relevan karena sebenarnya pemerintah telah menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua secara hukum.

Merdeka.com - Sedangkan permintaan maaf pemerintah kepada pemberontak PKI 1965 yang telah membunuh tujuh Jenderal TNI AD dianggap sangat tidak tepat dalam konteks ketatanegaraan dan dikhawatirkan akan mengundang upaya untuk memutarbalikkan fakta sejarah, jelas Ketua Umum PPAD.

PPAD menyarankan agar pemerintah mendorong terjadinya rekonsiliasi secara alamiah antara pemerintah dengan organisasi/kelompok masyarakat atau antar organisasi/kelompok masyarakat yang pernah bertikai di masa lalu.

Rencana permintaan maaf itu berembus kencang jelang pidato kenegaraan menyambut HUT RI ke 70. Namun dalam pidato di sidang tahunan di hadapan MPR/DPR Jumat siang kemarin, Jokowi tidak sedikit pun soal permintaan maaf itu.

Sementara itu usai Jokowi pidato, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah sedang mematangkan format permintaan maaf kepada korban pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di masa lalu. Pengkajian format tersebut melibatkan banyak pihak.

"Kita sudah kumpul Komnas HAM, Menkum HAM, Polri, panglima semua. Jadi apa, kita sedang menyusun itu sekarang ya, sudah lah, kita tinggalkan masa lalu, sekarang bergerak maju ke depan, kita cari solusi terbaik," kata Yasonna di DPR, Jakarta, Jumat (14/8).

Menurut Yasonna, banyak kasus pelanggaran berat HAM sudah diproses tetapi tidak pernah dituntaskan. Oleh sebab itu, pemerintah ingin kasus-kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu dianggap selesai.

"Kan penyelesaiannya yudisial dan non yudisial, kita tempuh non yudisial, kita sedang menyusun bagaimana formatnya, kita kan sudah berapakali ketemuan," jelasnya.

Pemerintah akan meminta maaf kepada keluarga yang menjadi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Adapun alasan ditempuh jalur non yudisial, lantaran proses yudisial sudah pernah ditempuh tetapi tidak membuahkan hasil.

"Masih banyak persoalannya kan, proses hukum bukan, persoalan yang panjang, katakan tahun 65 seperti apa, itu kan persoalan yang dulu di apa. Yudisial juga sudah pernah dicoba, dulu persetujuan DPR, pengadilan ad hoc-nya kan enggak jadi, DPR enggak setuju. Kita cari format yang lebih baik," jelas Yasonna.

"Jangan sampai menjadi persoalan yang tidak pernah selesai. Ini kan persoalan sudah berapa periode tidak selesai, masa kita biarkan jadi dosa keturunan," tutupnya.




Dinastipoker.com AGEN POKER ONLINE | AGEN CAPSA | POKER ONLINE | AGEN DOMINO99 | POKER UANG ASLI

No comments :

Post a Comment